Cara Terbiasa Pada Kehilangan

Alvina Maria
2 min readMar 6, 2024

Hai.

Mmm… apa kabar?
Euh… aku punya pertanyaan…

Yah, sebenarnya, aku gak berharap pertanyaan ini ada yang menjawab, sih, karena aku pun gak benar-benar tau lagi nanya ke siapa.

Bertanya ke diriku sendiri kah?
Bertanya pada kamu, yang sedang membaca ini?
Bertanya pada masa laluku yang pernah menjanjikan masa depan?
Atau bertanya pada orang-orang yang baru saja hadir di hidupku lalu pergi begitu saja?

Siapapun yang merasa pertanyaan ini ditujukan untuknya, aku punya pertanyaan…

Kenapa ya, setiap pertemuan rasanya begitu singkat ketika sudah waktunya bagi siapapun dia untuk pergi?
Dan kenapa rasanya begitu pedih untuk merelakan?
Membiasakan diri lagi untuk mengerti, kalau setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya?

Dan bagaimana caranya membiasakan diri pada kehilangan?

— — —

Begitu sulit untuk ku mengerti, kalau ternyata batas persimpangan pertemuan hanya sejauh itu saja… Tidak ada lagi alasan yang bisa dibuat, tidak ada lagi alasan untuk tinggal.

Pilihan terakhir adalah pergi.

Belum cukup itu saja, ini bagian yang paling aku benci.
Kalimat-kalimat perpisahan dan janji-janji.

“Nanti”

Hah. Omong kosong apa lagi ini?

“Bertemu lagi”

Apa itu? Perlahan, hal itu hanya akan menjadi fiksi.

“Masih bisa ngobrol kok” — “pasti.”

Cih. Ilusi.

Segala hal mengenai pergi dan berpisah terus saja menjadi yang paling aku benci seumur hidupku, karena aku tidak ingin menuliskan kalimat-kalimat ini lagi.

Kepalaku sakit. Semuanya begitu sama.

Begitu banyak teriakan, suara, bisikan, bahkan keheningan yang memekakkan telingaku sendiri.

— — —

Aku iri.

Iri pada semua orang yang mampu menghadapi perpisahan dengan begitu baik.

Iri pada mereka yang tahu caranya menangis tanpa membuat orang lain merasa jijik.

Bisa kasih tau aku, gimana caranya?

--

--